SADAR DIRI



Asis Muslimin, Psikolog

 

Ada sebuah momen yang berkesan bagi saya, ketika saya melakukan diskusi dengan guru saya. Begitulah saya menyebutnya meski beliau selalu keberatan jika saya anggap sebagai guru saya. 

 

Beliau pasti bergumam,” Guru opo to mas, lawong aku iki dudu sopo-sopo, durung ngerti opo-opo lan ora iso opo-opo, kok diarani guru, ketemu pirang perkoro? Beliau menjawab itu dengan santainya setengah berkelakar. 

 

Jujurly, sosok ini aku kagumi. Pembawaannya santuy jauh dari kata sok keren dan sok berwibawa. Namun kata-katanya selalu saja keramat. 

 

Kata-katanya itu, bak panah pasopati yang melesat dari busur gandiwanya Arjuna, begitu melesat makjleb tepat di hati sanubari. Menusuk, mengkoyak lubuk hati terdalam. 

 

Terkadang nuraniku dibuat meronta olehnya hingga pilu menyergap dan tak jarang terasa mak sengkring menggedor-gedor kesadaran.

 

Beliau seorang ustadz sepuh tinggal di Solo yang sungguh sederhana dan bersahaja. Bijak dalam menasehati, terukur diksi katanya, terasa pas begitu, tidak terlalu pahit juga tidak terlalu manis. 

 

Minimal itulah pandangan subyektif saya kepadanya. 

 

Mungkin bagi sebagian yang lain bisa saja berbeda pandangan tentang sosok ini. 

 

Namun tidak menjadi masalah, rileks saja, sepanjang perbedaan itu dalam hal-hal furuiyah tidak sampai pada yang Ushuliyah. 

 

Oleh sebab itu dibawa santuy aja! Tak perlu melotot hingga urat leher hampir terbetot,  dan bermuka kecut hingga kening tegang mengkerut. 

 

Widih…kok jadi berat pembahasannya yak! Bawa-bawa istilah furuiyah wal ushuliyah segala, He…hee….capek deh!!!

 

Hee…hee, monggo sinambi diunjuk tehipun! beliau mengajak menimati teh yang sudah cinawis. 

 

Sambil bercanda, saya timpali, ustadz nopo ten mriki niku biasa nopo nopo piyambak jih? Nopo dikulinakaken kendel?

 

 Laa pripun to? Beliau menimpali.

 

Heee laa niki sing dicaweske kok naming wedang kendel?(teh berani, karena tidak disajikan dengan camilannya) 

 

Beliau langsung terkekeh riang, Haa…sampeyan niku iso wae, Ssst…ampun banter-banter leh ngendikan, niki telonipun nembe digoreng. 

 

Hiyaaaa..!!! Kitapun tertawa bareng dan bumipun ikut terkekeh riang.

 

Sambil nyeruput teh ginastel (Legi, Panas, Kenthel) yang disajikan, beliau tiba-tiba bertanya kepada saya,” Mas sebenarnya sampeyan itu siapa? Beliau mulai membuka sesi diskusi dengan pertanyaan yang aneh. 

 

Tetapi saya coba ikuti ritme diskusi beliau. Kemudian saya jawab,” saya pikir saya adalah ….sssstttt stop! 

 

Begitu saya ngomong saya pikir saya adalah…seketika saya langsung distop. Beliau berkata,” Itu bukan kamu, itu pikiranmu. 

 

Pada awalnya saya tidak mengerti. lah, bukannya sama saja? ini kan pikiran saya, bukannya pikiran saya juga mempresentasikan diri saya? Bukankah itu sama aja? 

 

Bukan, itu bukan dirimu, tetapi itu pikiranmu, beliau kembali menegaskan. 

 

Saya ulang pertanyaannya ya? Sejatinya sampeyan itu siapa? Saya ini pernah kuliah di fakultas…sssst stop! Itu bukan kamu, itu memorimu. Itu adalah sesuatu yang ada di dalam memorimu, tetapi bukan dirimu yang sejati. 

 

Dirimu itu bukan pikiranmu, bukan perasaanmu, bukan emosimu dan bukan pula memorimu. Dirimu itu yang menyaksikan semua itu. 

 

Saya semakin bingung karena jawaban saya serba salah. Selama ini saya berkeyakinan bahwa saya adalah pikiran saya dan saya adalah memori saya. 

 

Tiba-tiba insight saya muncul, ooo mungkin ini jawabannya ketika menyadari bahwa kenapa hari ini banyak orang mengalami stress dan depresi, karena memori lima belas tahun yang lalu masih hidup di saat sekarang. Kesedihan lima tahun lalu ternyata masih melekat erat dan tampak nyata hadir di saat ini. 

 

Berarti ia terikat memori masa lalunya. Artinya ketika kita terikat oleh memori masa lalu, maka kenangan masa lalu bisa mengganggu eksistensi disaat ini sehingga ia bisa menyebabkan stress, cemas dan depresi pada saat ini.

 

Namun tiba-tiba saja ia juga bisa meloncat kemasa depan yang belum tentu terjadi. 

 

Itulah kenapa kita banyak memiliki kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan dalam hidup. Disitu saya mulai menyadari bahwa, ooo iya ya, saya ternyata bukan memori saya. 

 

Terus guru saya bertanya lagi, berarti siapa dirimu? Karena saya saat ini sedang bahagia diskusi dengan guru, maka saya jawab bahwa saya adalah orang yang sedang berbahagia. 

 

Beliau lagi-lagi memotong, bukan, itu emosimu, itu bukan dirimu yang sejati. 

 

Dan saya semakin bingung lagi semakin bingung lagi dan panjang ceritanya. 

 

Namun singkat cerita disitu saya sadar bahwa ternyata saking terlalunya kita login atau nyawiji (menyatu) dengan pikiran, sehingga saya menganggap bahwa saya ini adalah pikiran saya. 

 

 

 

Saya menganggap bahwa diri saya ini adalah perasaan saya. Saya menganggap diri ini adalah emosi saya. 

 

Padahal mau bicara pikiran, perasaan, emosi atupun memori ini tidak ada yang fitrah satupun.  

 

Contoh pagi hari bangun tidur dengan suasana hati damai dan menyenangkan tetapi begitu melihat kabar di WA atau berita tidak enak, maka disitu emosi kita terprovokasi sehingga emosi cemas dan takut mulai menyergap. 

 

Sejam kemudian kita bisa menjadi sedih, sejam lagi kita bisa berubah menjadi senang dan bahkan hal itu selalu berulang-ulang berganti-ganti. 

 

Jika dianalogikan dengan awan dan langit, pikiran, perasaan, emosi, memori, itu semua adalah awan-awan yang berarak senantiasa hadir dan hilang. 

 

Namun sadarilah bahwa sejatinya kita ini bukan awan itu, tetapi kita ini adalah langitnya. Kita ini bukan pikiran, kita ini bukan perasaan, kita ini bukan emosi dan kita ini bukan memori. Itu semua adalah instrument yang diberikan kepada kita untuk menjalankan peran di dalam hidup ini.

 

Namun penting kiranya untuk menyadari diri kita yang sejati. Pikiran tidak akan bisa berpikir kalau tidak ada subyek yang berpikir. Bukan otak yang berpikir tetapi kita menggunakan otak untuk berpikir. Lantas siapa subyek yang menggunakan otak untuk berfikir?

 

Pertanyaannya adalah terus aku yang sejati itu yang mana? Kalau aku bukan pikiran berarti aku adalah subyek yang mengamati otak yang sedang berpikir. Berarti aku yang sejati adalah aku yang selalu menyaksikan. 

 

Coba kita buka QS 32:9. Bacanya secara perlahan pahami dan renungkanlah. Mudah mudahan dengan penjelasan ini kita bisa memahami ayat ini dengan baik dan benar. 

 

Allah berfirman ,” Kemudian, Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)-nya. Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani untukmu. Sedikit sekali kamu bersyukur 

 

Dia tiupkan ruh-Nya. Artinya Aku tiupkan ruh-Ku. Jika kita kaji lebih dalam dan menyadari bahwa ciptaan itu adalah pengejawantahan dari yang menciptakan atau sumbernya. 

 

Jika sumbernya itu bernama Allah, maka kita ini adalah percikan dari ruh-Nya. Jadi inilah diri kita yang sejati. 

 

Namun yang sejati ini terlalu sering tidak disadari. Kenapa? Karena kita terlalu login dengan pikiran, terlalu masuk kedalam perasaan atau emosi, bahkan secara tidak sadar terlalu lekat dengan memori. 

 

Maka dari itu karena diri sejati itu bukan pikiran, perasaan, emosi apalagi memori maka sejatinya kita punya kekuatan untuk shifting atau bergeser dari keadaan sedih menuju kondisi bahagia. 

 

Proses shifting ini sebetulnya tidak membutuhkan waktu lama. Tetapi faktanya sering lama, kenapa?  Karena kita kurang berlatih. Jam terbang untuk mengasah keterampilan shifting pindah dari sedih ke bahagia masih sangat kurang.

 

Itulah kenapa ketika kita merasakan kesedihan, durasinya terlalu lama bahkan sulit move on Alih-alih berlatih bahagia, justru setiap hari yang dilatih adalah kesedihan, kemarahan, judgement atau menilai dan menghakimi orang lain sehingga lama kelamaan itu menjadi kebiasaan. 

 

Maka ketika kita sering bicara,” aku tuh orangnya pemarah dan susah memaafkan! Bukan, kamu itu bukan pemarah tetapi kamu itu setiap hari berlatih marah. Oleh karena itu kamu menganggap sifatmu pemarah, itu intinya. 

 

Karena jangan lupa we are what we repeat, kita ini adalah apa yang kita ulang-ulang atau biasakan.

 

Ketika kita keluar dari jalur kesejatian, kita hanya akan berputar-putar di dalam pikiran, perasaan, emosi dan memori. 

 

Dan disitulah kita akan sulit menemukan esensi hidup yang bernama kebahagiaan. 

 

Oleh karena itu, pelan-pelan kita akan meniti, masuk lagi, menyelami lagi tentang kesadaran diri sejati. 

 

Namun setidaknya hari ini kita mulai sadar bahwa dirimu bukan namamu, dirimu bukan jabatanmu, dirimu bukan pikiranmu, dirimu bukan perasaanmu, dirimu bukan emosimu, dirimu bukan memorimu. 

Mari selalu setia kepada pembelajaran jati diri. 

Yuk bisa yuk, terus berlatih sadar diri. Semoga tulisan kecil ini bermanfaat.

 

 

 

Wallahu A’lam

 

Klaten, 16 Oktober 2024

 


Posting Komentar untuk " SADAR DIRI "