RESOLUSI KONFLIK RUMAH TANGGA (Part 2)



Asis Muslimin, Psikolog

Petaka rumah tangga itu pasti mendera siapa saja yang berada dalam bahtera pernikahan. 

Tak peduli siapa dia, apapun profesi dan status sosialnya, petaka kalau sudah mendera maka pilihannya hanya dua, menghadapi dengan segenap jiwa raga atau putus asa membiarkan dirinya terlindas oleh kekejamannya. 

Itulah yang disebut sebagai konflik rumah tangga. Untuk memperjelas definisinya, seorang pakar pernikahan, Dr Olsen, mendefinisikan sebagai sebuah perbedaan harapan, Ketidaksepahaman ide, perselisihan pendapat atau beda sudut pandang yang memunculkan ketegangan. 

Konflik rumah tangga ini bermuara pada dua sebab, yakni (1) Perbedaan dan (2) Keegoisan.

Contoh penyebab konflik dari perbedaan adalah ada pasangan suami istri. 

Sang suami berasal dari keluarga dimana ayahnya kurang peduli atas anak-anaknya. Satu-satunya yang ada dikepalanya adalah pekerjaan. 

Prinsip keberadaan ayah adalah mencari nafkah mencukupi seluruh kebutuhan materi anak dan istri. urusan anak sudah terhendel oleh ibunya dengan dibantu asisten rumah tangga.

Sementara sang istri berasal dari keluarga dimana sosok ayah terlibat sangat intens dalam pengasuhan. 

Perbedaan budaya rumah tangga inilah yang menimbulkan perbedaan ekspektasi. Ekspektasi yang tidak terpenuhi akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang sering muncul kemudian menumpuk dan pada akhirnya menjadi sebuah konflik. 

Jadi seringkali mereka membenci satu sama lain, tersebab oleh perbedaan-perbedaan tersebut. 

Namun, membuat kita bertempur terus di dalam perbedaan itu adalah suatu pilihan. 

Artinya apa? Sebenarnya pasutri tidak perlu hancur karena adanya perbedaan itu. Pasutri hanya perlu memikirkan cara adaptif yang disepakati kedua belah pihak untuk keluar dari konflik ini bersama-sama. 

Memang hal itu tidak mudah. Namun, bukan berarti mustahil untuk menciptakan resolusi konflik yang adaptif kan? 

Menciptakan resolusi konflik yang adaptif memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia memerlukan ikhtiyar yang tidak sederhana. 

Pertama, pasutri wajib mengenal apa yang kami sebut sebagai gaya resolusi konflik. 

Ada beberapa gaya resolusi konflik yang bisa dipahami oleh pasutri di seluruh dunia.  

(1) avoidance style.

 ini adalah gaya orang yang suka menghindari konflik. 

Jika mereka mengalami konflik, pasutri jenis ini biasanya akan menghindari pembicaraan tentang konfliknya itu. Apalagi menunjukkan effort menemukan resolusi bersama. 

Prinsipnya agak norak sih, yakni jika ada masalah rumah tangga, mending tidak usah dibahas deh. Kami kan orang yang nggak suka ribut. Biarlah waktu yang akanmenyelesaikannya. 

Terus sampai kapan, cuyy? sampai kalian depresi terus bubar jalan. Effortless nya itu lo, yang membuat mereka agak norak.

Adapun cirinya adalah: (a) tidak assertif. Asertifitas adalah kemampuan mengutarakan seluruh keinginan yang disimpan di dalam hati. 

Boro-boro assertif, gaya resolusi avoidance ini malah cenderung bersikap pasif bin pasrah. 

Gemes ndak sih kepada jenis pasutri yang memakai gaya resolusi seperti ini? Pengen enaknya doang, giliran bersakit-sakit serahkan waktu. Huuuu..norak!!!Pengen tak hiiiih!

(b) mengubah topik untuk menghindari konflik.

Jika selalu mendistrak pembicaraan resolusi konflik dengan tema yang lain, maka hal ini justru berpotensi melahirkan konflik-konflik yang lain. 

Pasangan akan super jengkel karena konflik tidak terselesaikan tetapi malah melahirkan anak konflik yang lain.  

(2) competitive style.

 Ia cenderung kompetitif dan tidak kooperatif. Jenis gaya resolusi konflik seperti ini adalah disatu sisi memperjuangkan keinginan pribadi namun di sisi lain ia merugikan orang lain. 

Jadi orientasi gaya resolusi konflik jenis ini pada akhirnya menegaskan siapa yang pemenang dan siapa yang pecundang. (win or lose)

Ia akan berusaha menciptakan resolusi konflik dengan cara konfrontasi dan pemaksaan. 

ini menjadi penghalang terbentuknya intimasi atau kedekatan pasutri.

(3) accomodating style. 

ia tidak agresif tetapi kooperatif.

Ia berusaha memenuhi keinginan dan kepuasan pihak lain. 

Jenis gaya resolusi seperti ini biasanya salah satu pasangan akan memenuhi segala keinginan pasangan lainnya agar resolusi tercipta, tetapi pasangan tersebut pada akhirnya merasa hanyalah sebagai korban semata. Endingnya gaya resolusi seperti ini akan memuncuklan kebencian sehingga suatu saat akan membalas dendam.

(4) collaborative style. 

Ia asertif mencapai goalnya tetapi juga peduli dengan pihak lain.

Jenis gaya resolusi seperti ini, pasutri berupaya menemuka cara kreatif untuk menemukan solusi baru. 

Namun, karena kepeduliannya dengan pasangannya sangat tinggi sehingga perlu effortfull dalam memedulikan pasangan tersebut. 

Sehingga gaya ini mudah membuat lelah, capek bahkan bisa burnout bagi salah satu diantara pasangan tersebut.  

(5) compromise style. 

Ciri utamanya adalah mencari bentuk kompromi.

Jenis ini berupaya mengkompromikan semua hal demi lahirnya resolusi yang disepakati kedua belah pihak. 

Harus ada yang diturunkan kepentingan dan ego masing-masing pasangan. 

Namun, pasutri dengan jenis gaya resolusi seperti ini akan lebih mudah tervalidasi keinginan baik masing-masing pasangan karena sama sama berani menurunkan ego dan kepentingan. 

Mungkin bukan solusi terbaik untuk semua pihak tetapi jenis ini yang paling realistis memungkinkan pintu resolusi terbuka. 

Mana dari kelima ini yang paling cocok mengatasi konflik pasangan?

To be continue

Posting Komentar untuk " RESOLUSI KONFLIK RUMAH TANGGA (Part 2)"