AYAH DAN UANG BAGIAN 2
By Pak Syam
Founder Komunitas Ayah Keren.
Alhamdulillah kita harus berterimakasih kepada para ulama shiroh. Karena beliau-beliau yang mengkaji shiroh nabi, kita yang kebagian berkahnya.
Dari kajian ini lahirlah berbagai metode dakwah.
Dari berbagai metode tersebut ada yang difokuskan lagi ke metode nabi dalam mentarbiyah para sahabatnya (membangun SDM unggul).
Alhamdulillah kerja para ulama tersebut berhasil dengan baik. Sehingga kita yang hidup di zaman kiwari bisa mencontek metode tarbiyah rasulullah dengan lebih gamblang.
Berkat jasa para ulama tadi, kita sekarang memiliki metode dakwah yang lengkap dan bagus. Alhamdulillah...
Sudah bertahun-tahun kita berusaha menjalankan metode tersebut dengan serius dan gembira.
Alhamdulillahnya lagi, Allah berikan buah dari ikhtiar itu dengan sangat baik pula.
Buah utamanya adalah lahirnya generasi dakwah yang produktif, shalih, militan, ikhlas, teguh pendirian, percaya pada pimpinan dll
Tentu itu semua kita syukuri sebagai anugerah besar yang tak ternilai harganya. Sekaligus kita fungsikan sebagai piranti verifikasi bahwa dakwah kita sudah berjalan dengan baik.
Tapi sebagai bahan evaluasi kadang kita perlu juga menyelidik tentang kekurangan dakwah kita.
Nah jika kita jeli melakukannya, akan ketemu tuh satu skills yang umumnya tumbuh lebih lambat, dibandingkan dengan skills lain.
Skills apa itu ?
Skills di bidang ekonomi. Kongkritnya skills dalam mendapatkan cuan.
(+) Eh ...iya gak sih bro ?
(-) Iya bener.
(+) Takutnya salah saya. Kalau salah bisa bikin geger, soalnya. Karena kalau menyangkut fulus biasanya pada agak sensi he he ...
(-) Menurut saya benar juga sih, skills mencari uang memang termasuk skills yang lambat pertumbuhannya, dibandingkan skills yang lain.
Apanya yang kurang ya dari penerapan metode dakwah kita ?
Bukankah kita sudah berusaha keras memahami metode dakwah nabi, lalu berusaha keras pula dalam mengamalkan.
Tapi kok sepertinya dakwah kita masih kurang optimal dalam menghasilkan aktivis dakwah dengan skills yang bagus dalam menghasilkan cuan.
Malah yang sering terdengar berita kurang bagus dari saudara kita tadi. Misalnya ada saudara kita yang mendadak lemes, kalau tiba waktunya anak bayar uang sekolah.
Ada juga yang kerepotan dalam menyisihkan uang buat bayar kontrakan, ada juga yang ijazah S1 nya baru menghasilkan pekerjaan serabutan sehingga uang datang kepadanya dengan tertatih-tatih, dll.
Begitu isi curhatan kawan di suatu hari. Wah gimana saya menanggapinya ya ?
Sebenarnya saya pingin menanggapi begini "Ya jangan gitu lah. Masak bayar biaya sekolah anak lemes, ndak bagus itu."
Tapi masak ya begitu nanggapinya, gak pakai perasaan banget ya ?
Iya juga sih tapi mau nanggapi gimana, bingung juga saya.
Okelah kalau begitu, saya pakai formula umum saja yaitu *A4 * (Ada Asap Ada Api).
Problem itu hanyalah sekumpulan asap. Di balik kemunculan asap pasti ada apinya.
Jadi sederhananya di balik tarbiyah kita yang belum menghasilkan skills mencari cuan dengan baik tersebut, pasti ada api yang jadi pemantiknya. Begitu kira-kira.
Tarbiyah yang digeluti belum menjadikan sebagian aktivis dakwah itu melek finansial. Mungkin karena tarbiyahnya tidak mengkaji tentang bagaimana uang berjalan, sukanya belok ke mana saja dan hobinya mampir di mana saja.
Nah karena tidak paham di mana dan kemana rute lalu lintas perjalanan uang, maka tidak tahu pula di mana bakal mangkal itu uang kan ?
Karena kita tidak tahu tempat mangkalnya, sehingga kita tidak bisa menjaringnya dengan efektif.
Karena tidak bisa menjaring dengan baik, maka datangnya uang ke rekening kita menjadi seret, kayak salak muda waktu dimakan, sepet dan seret ... he he ...
Belum lagi adanya budaya tabu untuk membicarakan uang.
Efeknya adalah timbul rasa lemes yang menjalar ke seluruh tubuh saat datang tagihan uang sekolah anak, mengandalkan sekolah anak-anaknya dari beasiswa melebihi kewajaran sebuah harapan (ngarep banget).
Efek yang kedua, untuk sekedar membayangkan betapa enak hidup orang kaya, misalnya memiliki rumah tingkat, mobilnya empat, makannya kupat, kopinya campur coklat, jamunya obat kuat, suaminya glowing mengkilat, gak pernah ada dalam agenda hidup mereka.
(-) Emang boleh menghayal-hayal kayak gitu.
(+) Emang gak boleh ?
(-) Ya gak tahu lah.
(+) Baiklah kalau begitu, akan saya berikan pencerahan dulu ya ...
Gini ya, kata para ahli fikih, dalam Al-Qur'an, hukum waris disampaikan dalam ayat-ayat dengan redaksi yang cukup detail.
Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa hukum waris 90% bisa kita pahami hanya dari ayat-ayat Al-Qur'an, tanpa bantuan penjelas dari hadits. Konon begitu.
Ada apa hukum waris kok dibahas sedetail itu dalam Al-Qur'an ?
Konon untuk memberikan hukum secara gamblang dan sebagai upaya untuk mengantisipasi jangan sampai para ahli waris saling berebut dan bertikai.
Kok berebut dan bertikai ?
Karena harta itu enak, manis dan sedap untuk dinikmati.
Manis dan sedap itu kalau warisannya harta yang banyak. La kalau yang diwariskan utang ? Atau warisannya hanya berupa satu kompor, dua panci dan setengah lusin mangkok mie ayam cap jago ? Pasti paitlah rasanya, gak ada yang mau nyentuh.
Itulah hebatnya Al-Qur'an. Jadi sejak awal hukum waris mengasumsikan bahwa orang Islam itu kalau meninggal dunia dia meninggalkan harta yang banyak. Sehingga Alquran memberikan tuntunan detail terkait dengan skema pembagiannya.
Coba kalau harta warisan itu diasumsikan cuma berupa kompor, panci dan mangkuk tadi, masak iya Al-Qur'an memberikan formula pembagian sedetail itu. Iya kan ?
Jadi kesimpulan sementara saya, menghayal tentang rumah tingkat, mobil empat, istri glowing mengkilat, obat kuat, itu boleh- boleh saja. Malah bagus, karena bisa memotivasi hidup dan mensukseskan penerapan hukum waris tadi. Iya kan ?
Nah itu ilustrasi penyebab yang pertama, kenapa sebagian aktivis dakwah kita lambat dalam mengembangkan skills mendapatkan uang. Karena gak pernah belajar bagaimana cara menghasilkan cuan dengan baik, dan mudah.
Yang kedua, mungkin karena kita salah membaca lingkungan dan mengenali potensi kita.
Bukankah lingkungan Madinah dan Jawa Tengah beda kultur ?
Bukankah beda kultur bisa menyebabkan beda potensi para aktivisnya. Sana pedagang sini agraris, tentu pengembangan potensinya memiliki fokus yang beda pula dong.
Tarbiyah nabi kepada mereka, bisa mematangkan semua potensinya, termasuk skills nya dalam mendapatkan cuan.
Bagi kaum pedagang yang mentalitas entrepreneurship nya hidup, mereka doyan banget sama yang namanya cuan ini. Maka dengan sentuhan sedikit saja, mereka langsung melesat mengejarnya, di mana saja si cuan bersembunyi.
Nah ketika metode dakwah itu kita boyong ke sini 100%, lalu kita implementasikan di sini, kita menyangka juga akan memberikan hasil yang sama.
Kita lupa kalau bahan baku mentalitas para sahabat nabi dulu beda dengan mentalitas umumnya aktivis kita. Mereka umumnya bermental entrepreneur sedang kita banyak yang berlatar belakang agraris.
Bukankah dalam hal semangat mencari uang, membandingkan antara mentalitas agraris dan mentalitas entrepreneur bagaikan membandingkan derasnya arus kali Opak dan arus laut Parangtritis.
Bagi sebagian orang berlatar belakang agraris, membicarakan kekayaan terutama membahas uang umumnya masih malu-malu dan bisa bikin menangis.
Beda dengan kaum pedagang, mentalitas entrepreneurship nya lantang menyebut bahwa uang itu manis. Mendengar kata uang saja, sudah bisa membuat kuping mereka langsung bergerak-gerak, matanya langsung hijau tanda well come.
Mungkin hal-hal seperti ini yang menjadi api penyebab timbulnya asap yang membuat lemes beberapa aktivis kita pas tagihan uang sekolah anaknya datang.
Tapi anehnya beberapa aktivis yang lemes itu tadi, pas disebutkan kata poligami, semangatnya langsung menyala hijau tanda well come, seperti tulisan pada keset di depan pintu kantor kecamatan he he ...
Oke kita split sekarang ya.
Kalau dalam kontek kita sebagai ayah, langkah-langkah apa yang harus kita lakukan agar anak-anak kita melek finansial dengan baik dan produktif.
(+) Ndak tau !
(-) Lah ayahnya saja ndak tau, bagaimana mau ngajari anaknya ?
(+) Memangnya gampang bikin anak melek finansial. Susah ini mas ...
to be continue ...
Posting Komentar untuk "AYAH DAN UANG BAGIAN 2"