Sebagai Ayah, Saya Jatuh Cinta Pada Rumah Pak Tjokro



Ayah Syam [ Founder Ayah Keren ]

Saya jarang tertarik dengan rumah seseorang. Malah kalau dari bangunannya, seingat saya belum pernah tertarik pada sebuah rumah tertentu. 

Apa lagi sampai bergumam,”Oh ya saya pingin punya rumah kayak ini, atau yang gede segitu kayak rumah itu, warna nya begini dan begitu.” 

Seingat saya belum pernah.

Tapi kalau pas melihat lokasi di suatu wilayah yang menurut saya bagus, kemudian bergumam,”Oo ini dia saya pingin punya rumah di sini, dengan suasana seperti ini. Mantap ini !”

Nah kalau yang begitu, sering.

Saya paling seneng dengan pantai. Saya sering membayangkan punya rumah di pantai, atau pas melihat gambar danau yang jernih, reflek pikiran saya langsung menghadirkan gambar rumah di pinggirnya.

Masih melekat dalam memori indah saya, saat terbangun menjelang subuh hari di sebuah losmen sederhana di pinggiran pantai yang sangat sunyi di pedalaman Kalimantan beberapa tahun lalu.

Tepatnya di penginapan terdekat dari Labuhan Cermin, Berau Kalimantan Timur.

Beberapa hari saya menikmati ketelanjangan kaki bersentuhan dengan pasir di bibir pantai, diringi musik alam dari paruh burung hutan, atau mulut-mulut cerewet monyet liar di dahan-dahan bakau. 

Sambil menanti terbitnya matahari dalam buaian dinginnya angin laut. Sejak itu sering saya membayangkan bertempat tinggal di pinggir pantai.

Konon dalam psikologi popular para penyuka rumah di tepi laut, dia adalah individu yang memiliki karakter cinta damai, baik hati dan sifatnya seimbang antara introvert dan ekstrovert.

Artinya dia orangnya ramah tapi keramahannya butuh beberapa saat untuk bisa pecah dengan sempurna. Dia memiliki karakter yang cukup sensitif dan memiliki sikap yang rileks dan santai.

Tapi kemarin saya ketemu pengalaman yang aneh. Dimana saya langsung jatuh cinta pada sebuah rumah yang tidak ada unsur laut-lautnya sama sekali. Jangankan dengan anjing laut, rumput lautpun tiada di situ. Lebay ya he he …

Jadi ceritanya saya sedang membaca kisah pak Tjokro, seketika konsentrasi saya tergeret ke rumah beliau. Karena menurut saya rumah beliau ini sangat menarik.

Alkisah pak Tjokro memiliki rumah di Surabaya. Sebagai bangsawan jawa yang kaya, tentu rumah beliau cukup besar, dengan jumlah kamar yang banyak. Nah sebagian kamar tersebut disulap menjadi kamar kos.

Beberapa anak muda kos di rumah beliau. Nah anak-anak muda yang kos di rumah beliau ini, sebagian adalah para pemuda hebat yang kelak menjadi penggerak jagat politik Indonesia. 

Sebut saja nama-nama seperti Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, juga Tan Malaka. Orang-orang ini pernah kos di rumah beliau, keren kan ? 

Dan hebatnya lagi anak-anak muda ini menjadi binaan beliau. Hebat bener pak Tjokro ini, binaannya orang-orang joss ya. Beliau ini suka minum ekstra joss kale … he he

Jadi rumah ini bukan tempat kos biasa. Dan pak Tokro ini tentu bukan orang biasa, bukan kaleng-kaleng lah. 

Iya benar pak Tjokro yang memiliki nama lengkap HOS Tjokroaminoto ini memang bukan orang biasa.

Nah sampai di sini dalam kontek ayah saya langsung klepek-klepek, jatuh cinta berat sama rumah beliau ini. 

Buat saya rumah ini amazing. Bagaimana tidak, wong rumah ini menjadi rumah cikal bakal para tokoh pergerakan Indonesia. Yakni anak-anak muda yang dibina oleh beliau alias anak-anak ideologis beliau. Alhamdulillah sejarah berkenan mengabadikan beliau sebagai mahaguru kaum pergerakan.

Kepada para binaannya, pak Tjokro berpesan, “Jika kalian  ingin menjadi pemimpin besar, kalian harus penuhi dua syarat, Pertama memiliki skills menulis seperti wartawan, dan kedua kemampuan public speaking  kalian mesti sekelas orator.”

Pesan ini rupanya bisa diserap dengan baik oleh salah satu binaan beliau yang bernama Soekarno. Akhirnya dari sejarah kita kenal beliau sebagai tokoh yang memiliki ketajaman pena sekaligus singa podium yang kenceng saat mengaum.

Sampai di sini saya langsung mengatakan, Yes! Pak Tjokro adalah ayah yang luar biasa. Baik sebagai ayah ideologis maupun ayah biologis. Karena disamping lahirnya tokoh-tokoh pergerakan tersebut, putra beliau yakni Harsono Tjokroaminoto juga menjadi tokoh hebat dalam sejarah negara kita.

Apa rahasia yang beliau miliki sehingga bisa menjadi ayah sehebat itu ? 

Entahlah yang jelas motto hidup beliau keren habiz; ,”Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” 

Amazing to ? Sebuah prinsip hidup yang sangat tinggi, jauh melebihi ketinggian Gunung Merapi sekaligus sangat dalam jauh melebihi kedalaman palung laut selatan.

Qodarullah, dengan wasilah  prinsip hidup yang digenggamnya kuat-kuat itu, beliau menorehkan pena sejarahnya sebagai orang hebat.

Misalnya saat beliau menjabat ketua Sarikat Islam, usianya baru  31 tahun. Sebuah usia yang masih cukup muda, mengingat organisasi itu juga banyak dihuni oleh orang-orang yang sudah cukup senior.

Di tangan pak Tjokro, Sarikat Islam mewujud menjadi organisasi politik pertama terbesar di Nusantara. 

Catatan statistiknya lumayan mencengangkan. Pada tahun 1914, anggota resminya mencapai 400.000 orang, sedangkan tahun 1916 terhitung memilik anggota sebanyak 860.000 orang. 

Tahun 1917 anggota persarikatannya sempat menurun menjadi 825.000. Lalu turun lagi pada tahun 1918 hingga pada kisaran 450.000.

 Alhamdulillah setahun berikutnya, yakni di tahun 1919, keanggotaannya melesat sampai 2.500.000 orang.

Lalu dengan diilhami oleh cita-cita Pan Islamisme, pada kongres Sarikat Islam tahun 1917 beliau menegaskan bahwa ukhuwah islamiyah tidak boleh terbatasi oleh letak geografis, ras, suku dan kedudukan. 

Tetapi justru semua hal tadi harus dilandasi dengan spirit ukhuwah Islamiyah tadi. 

Pengetahuannya yang luas, penguasaan bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan bahasa Inggris yang baik menjadi variable penyempurna efektifitas beliau dalam memimpin persarikatan.

Sarikat Islam pun semakin mengukuhkan citra keislamanya setelah H. Agus Salim bergabung. 

Momen ini menjadikan tokoh-tokoh Sarikat Islam berhaluan “merah” seperti Semaoen dan Darsono tersingkir bahkan keluar dari persarikatan. 

Mereka akhirnya mendirikan Partai Komunis Indonesia.

Baik, itulah sedikit kiprah beliau sebagai ayah ideologis. Lalu bagaimana dengan peran beliau sebagai ayah biologis ? 

Nah untuk yang ini kita mesti berkenalan dengan tokoh kunci yang satu ini yaitu Harsono. Beliau bukan orang jauh, karena beliau adalah putra HOS Tjokroaminoto sendiri. 

Harsono Tjokroaminoto merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua kakaknya adalah Netty Utari (yang kelak dipersunting Soekarno) dan Anwar Tjokroaminoto. Dan dua adiknya bernama Siti Islamiah dan Suyud Achmad Tjokroaminoto.

Harsono oleh ayahnya dimasukkan ke ELS dan MULO sebagai tempat menimba ilmu. 

Sekolahnya yang berpindah pindah, mulai dari Surabaya Jawa Timur, Jawa Tengah Jawa Barat dan Jakarta, menunjukkan akan besarnya spirit untuk mengejar ilmu.

Selain sekolah umum, Harsono muda juga sangat tekun menuntut ilmu agama, dengan mendatangi pesantren-pesantren. 

Berbekal ilmu yang ditimba dari pendidkan umum dan pesantren dan ditambah bimbingan sang ayah, membentuk kepribadian yang utuh dalam diri beliau. 

Dalam diri beliau mengalir darah nasionalisme dan islamisme yang kental. Perpaduan antara keduanya kelak sangat terlihat dalam kiprahnya saat berjuang untuk kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan. 

Para dua kiprahnya itu kecintaan pada tanah air yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman, terlihat sangat kuat. Misalnya dalam pendirian organisasi Gerakan Pemuda islam Indonesia (GPII) dan juga Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang beliau bidani. Warna nasionalisme dan keislaman berpadu menjadi satu 

Jejak nasionalisme dan keislamannya juga bisa kita lacak pada masa revolusi fisik. Saat itu beliau duduk sebagai penasihat pribadi Panglima Besar Jenderal Soedirman. 

Mereka bergerilya bersama keluar masuk hutan, naik turun bukit di daerah Ambarawa.

Juga saat menjadi anggota dalam Panitia Republik Indonesia Serikat untuk mengembalikan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, memimpin goodwiil mission Indonesia ke negara-negara Islam dan menjadi presiden Kongres Pemuda Islam se-Dunia. 

Jejak itu masih berlanjut sampai beliau menjadi sebagai duta besar negara Republik Indonesia untuk negara Swiss; dan menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

Nah sekali lagi di situlah menariknya rumah HOS Tjokroaminoto ini. Anak-anak ideologis dan biologis yang saya sebutkan di atas digemblengnya di situ. 

Pesan moralnya buat kita para ayah, hendaknya kita tidak sekedar menjadi ayah yang perhatian terhadap rumah kita sebagai fisik bangunan saja. 

Lebih dari itu keberadaan sebuah rumah adalah tempat ayah berkarya, mendesaian masa depan anak-ananya lewat ikhtiar fisik dan doa. 

Rumah kita hendaknya bisa menjadi titik tolak bagi kawah candradimuka tempat dimana anak-anak kita kelak menggembleng diri dalam kehidupannya.

Namun ironisnya mayoritas ayah masih lebih condong untuk mewujudkan mimpi rumahnya dari sisi bangunan fisik. Ini sebenarnya memang naluri, bahwa dijadikan indah dalam pandangan manusia terhadap apa-apa yang diingini yaitu Wanita, anak-anak, emas perak, sawah ladang termasuk rumah-rumah yang mewah.

 Itu fitrah. Bahkan bagi banyak orang, impian untuk memiliki rumah seperti apa, itu tembus sampai ke jiwa terdalam di dasar hatinya.

Karena kalau kata psikolog humanistik kondang yakni Abraham Maslow memiliki rumah adalah kebutuhan dasar, disamping kebutuhan akan pangan dan sandang. 

Ketiga kebutuhan ini berada di tingkat dasar  dari lima kebutuhan pokok manusia yang lain.Makanya impian tentang rumah itu, bisa nembus sampai ke dasar jiwa.

Misalnya Anda ingin hidup sederhana di pinggiran kota dalam rumah yang biasa,  tidak terlalu mewah dengan halaman depan dan garasi serta ruang yang cukup untuk menyimpan kendaraan keluarga. Keinginan ini bisa nimbus ke jiwa. 

Maksudnya keinginan ini bisa mempengaruhi kejiwaan dia.

Apa impianmu tentang rumahmu kelak, ia akan menuntun tipikal seperti apa kepribadianmu kelak. 

Makanya kata orang-orang yang biasa bergelut dengan teori psikologi popular mereka yang bermimpi memiliki hunian di pinggiran kota misalnya, mereka itu umumnya adalah individu yang simple. 

Mereka memilih untuk hidup secara sederhana tanpa mencari banyak hal yang dapat dijelajahi. Di sisi lain, mereka adalah individu yang perhatian, empatik, dan mudah bergaul.

Atau orang-orang yang memilih untuk tinggal di apartemen. 

Bagi kebanyakan orang menatap ke bawah dari gedung 100 lantai sangat menegangkan, namun bagi sebagian individu, mereka menikmati hidup di ketinggian seperti itu.

Lalu secara kejiwaan hidup seperti ini akan menguatkan tipikal ektrovert yang dia miliki. Lalu orang-orang dengan tipikal ramah, lincah, gesit dan murah hati akan menguat.

Maka jangan heran jika mereka umumnya penuh energi dan suka menghabiskan waktu bersama orang lain. Juga ambisius, karismatik dan seorang pemimpin yang alami. 

Karakter yang blak-blakan, teratur dan sangat baik dalam membuat keputusan akan terbentuk di sini.

Itu semua adalah sunnatullah yang tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Yang kita perlukan adalah memanage keinginan tersebut dengan cara menyeimbangkan dengan sisi rohaninya yaitu pembangunan kualitas penghubi rumahnya. 

Kualitas batin penghuninya baik secara iman, ilmu dan wawasan haruslah lebih diutamakan dibanding membangun fisik rumahnya.

Saran saya sebagai sesama ayah, pilihlah rumah model rumah pak Tjokro, dan bukan rumah yang sekedar cantik dari desain fisiknya saja. 

Karena di rumah pak Tjokro inilah di buat desain untuk melahirkan orang-orang yang memiliki sifat mulia yakni setinggi-tingginya ilmu, sejernih-jernihnya tauhid dan sepandai-pandainya siasat. 

Meski sejarah juga mencatat bahwa Semaoen, Alimin dan Muso juga pernah tinggal di sana, tak kan mengurangi kemuliaan rumah itu. 

Karena dunia kita adalah dunia ikhtiar. Adapun tentang hasilnya, adanya bukan di tangan kita.

Posting Komentar untuk "Sebagai Ayah, Saya Jatuh Cinta Pada Rumah Pak Tjokro"