RAMADHAN, AYAH DAN SOKOGURU DUNIA (bag. 2)



By Pak Syam

Tapi begitulah realitanya. Mirip kolaborasi nasi putih pulen, sate kambing empuk dan sup kaki kambing panas tadi. Gak ngefek apa-apa, aneh kan ?

Kalau kita cermati lagi ternyata keanehan itu sudah muncul sejak di variabelnya, sebelum dikolaborasikan malah. 

Awalnya problem pada pemahamannya lalu merembet pada tindakan. Terus lanjut pada buah tindakannya.

 Ayo kita cermati variable pertama yaitu Ramadhan. Ramadhan adalah sarana tarbiyah dahsyat. 

Dan sarana tarbiyah itu sudah kita praktekkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Dari belasan sampai puluhan tahun lalu.

 Tapi kenapa buah tarbiyah Ramadhan yang lalu-lalu belum juga nampak khususnya di level sosial secara optimal ?

Kalau kata kawanku setidaknya ada dua sebab. 

Pertama karena puasa kita selama ini umumnya baru berada di level elementary (ritual). Dimana prinsipnya, asal sudah tertunaikan, sudah dianggap cukup. 

Yang kedua efek dari puasa ritual tersebut, tentu saja jauh panggang dari api, jika dikaitkan dengan upaya untuk mengupgrade status mukmin ke level muttaqin sebagaimana tujuan puasa. 

Di sini muttaqin nya sering hanya mampir di kalbu saja. Muatan sosialnya lemah, kurang greget.

Muttaqin yang muatan sosialnya lemes dan kurang greget itu seperti kondisi sebagian umat islam sekarang lah kira-kira.

Dalam kondisi seperti ini mengusung tema ustadziyatul alam ke pentas global, bukan kerja yang ringan. 


Karena untuk mengusung tema tersebut yang kita butuhkan adalah muttaqin yang menggerakkan, bukan yang lemes. Kita butuh muttaqin yang progresif seperti itu. Sayangnya justru disinilah berseminya masalah amaliah Ramadhan kita.

Variabel yang kedua ayah memiliki pengaruh besar dalam pendidikan anak. 

Namun faktanya tidak sedikit ayah yang sibuk bekerja sampai tidak punya waktu untuk bareng-bareng istrinya mendidik anak.

Tak jarang pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada ibunya saat di rumah dan gurunya saat di sekolah. Seakan ayah pasrah bongkokan.

 Sehingga amanah ayah untuk mendidik anak, tidak dipergunakan secara memadai. 

Selanjutnya bisa diduga, anak-anak di sekolah dan kampus dididik berdasarkan kebutuhan industry semata, dimana anak ditempatkan sebagai bahan baku tenaga kerja. 

Jadi kedudukannya tak lebih hanya sebagai variable ekonomi belaka. 

Maka pasca kuliah anak-anaknya larut di pasar. Mereka turut menjadi komoditas pasar. 

Sarjana adalah modal, sarjana adalah variable produksi, sarjana adalah sarana marketing.

 Mayoritas institusi pendidikan berlomba memenuhi tuntutan itu. 

Efeknya sekolah dan kampus tak banyak yang bisa menghasilkan alumni dengan kualifikasi mujahid (pejuang).

Di titik inilah sebenarnya panggilan agar ayah pulang itu kenceng. Karena ayah bisa memasukkan nilai-nilai kepejuangan kepada anak-anaknya. 

Sang ayah mesti menegaskan, “Nak kamu boleh menjadi pengusaha tapi tsaqofah islamiyahmu harus tetap jempolan, karena kamu seorang pejuang".

"Nak kamu boleh belajar di pesantren sampai hafidz 30 juz dan kesungguhanmu dalam mewujudkan pabrik mie instan dengan kapasitas produksi mencover 70% kebutuhan rakyat Indonesia, adalah dua agenda yang sinkron. Itulah pejuang sejati.” 

Sayangnya sampai di sini ayah masih menjadi bagian dari problem. 

Bagaimana mungkin problem akan menyelesaikan problem.

Variabel yang ketiga, Islam harus diperjuangkan sampai ke level soko guru dunia. 

Karena pencapaian level ini sangat urgen bagi upaya menampilkan izzul islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umatnya). 

Hari ini Islam masih jauh dari posisi sokoguru dunia. Karena mayoritas ajarannya belum banyak yang merambah kehidupan sosial. 

Kebanyakan ayat atau hadits masih mentok di level individu. Ini problem kita.

Nah itu kurang lebih problem dimasing-masing variable tersebut, sehingga walaupun Ramadhan, ayah dan islam bertemu dalam satu periuk, gak ada power yang tercipta, gak ada yang meroket.  

Makanya tidak aneh jika Israel masih petentang-petenteng di Gaza, sebagai salah satu contoh.

Ketiga problem itulah yang menjadi tantangan riil kita sebagai ayah. 

Sampai hari ini mayoritas para ayah belum membimbing anak-anaknya untuk menjadi jundullah (pasukan Allah) yang membawa islam menjadi soko guru dunia tersebut.

(-) Bukankah kajian parenting banyak bermunculan bagai cendawan di musim hujan ? 

(+) Iya banyak sih. 

(-) Bahkan forum kajian keayahan juga marak. 

(+) Iya marak sih.

(-) Optimis dong, bakal ada solusi konkrit !

Solo, 11 Maret 2024

Posting Komentar untuk " RAMADHAN, AYAH DAN SOKOGURU DUNIA (bag. 2)"