MAMPIRLAH BELI MINYAK & BERAS



Asis Muslimin, S.Psi. M.Psi. Psikolog

Pada bulan lalu, tidak terhitung saya menerima telepon istri dan tidak terhitung pula saya mengisi acara pelatihan psikologi.

Artinya mengisi pelatihan psikologi dan terima telepon istri itu adalah soal-soal biasa dalam hidup saya. 

Tidak terhitung pula saya bertelpon istri sehabis atau sebelum mengisi pelatihan psikologi. 

Artinya itu juga soal yang biasa. Namun telepon istri datang tepat ketika saya mengisi pelatihan yang ini lain sekali akibatnya. Akibat itulah yang hingga kini tak pernah saya lupa.

Saat itu saya sedang mengisi pelatihan di sebuah SMA PK milik Muhammadiyah yang dihadiri oleh jajaran pengurus pimpinan daerah, kepala sekolah, komite, dan ustadz maupun ustadzah SMA PK tersebut. 

Sebuah selebrasi puncak dengan sayalah pengisi acara utamanya. Sudah tentu saya diperlakukan dengan segenap rasa hormat. Apalagi ketika tugas itu dengan baik saya tuntaskan. Forum itu lalu menganggap saya sebagi bintang. 

Pokoknya saat itu saya memiliki seluruh modal untuk menjadi besar kepala. 

Pada saat itulah istri saya telpon dan berkata, " Tolong nanti pulangnya sekalian beli minyak dan beras ya, say!".

Permintaan itu khas istri saya. Penuh rasa hormat dan mesra. Namun semesra apapun nadanya, saya pasti boleh merasa terhina. 

Apa jadinya jika audiens mengerti bahwa bintang di hadapannya ini harus pulang sambil menenteng minyak goreng dan beras eceran? 

Saya pernah pula mengisi pelatihan psikologi di hadapan mahasiwa. Di antaranya ada seorang yang tampak sangat memuja. 

Namun anak muda inilah yang sejenak kemudian harus kaget setengah mati ketika sepulang dari seminar ia menyalip saya dengan mobilnya sambil mendapati saya yang sedang bermotor sambil belepotan melawan hujan. 

Saya mengerti sorot matanya yang tidak cuma kaget tapi juga kecewa. "Oo penceramah yang saya kagumi ini ternyata orang miskin," begitu mungkin kata hatinya.

Maka permintaan istri itu rasanya sungguh tidak tepat waktu. Untung saja sebelum terhina, perasaan berikut inilah yang lebih dulu datang di benak saya: 

Pertama, saya mencintainya. Seluruh permintaan paling aneh sekalipun kalau ia datang dari orang tercinta, ia akan kita sambut gembira. 

Kedua, pada dasarnya saya memang orang yang mudah tertawa. Melihat permintaan salah konteks semacam ini membuat saya tergelak tanpa sengaja. "Baru ini "selebriti" disuruh beli minyak dan beras," kata saya di ujung telepon sambil tergelak. 

Bayangan istri dan anak-anak malah menerbitkan keinginan saya untuk segera pulang dan di rumahlah tersedia panggung seminar yang sesungguhnya.

Ketiga, ini yang terpenting. Panggung publik adalah dunia yang sangat menyenangkan sekaligus sangat berbahaya. 

Pembintangan kepada seseorang itu sungguh malah menimbulkan bermacam-macam persoalan bagi orang itu yang sejatinya tak lebih dari orang-orang biasa, tak terkecuali saya. 

Namun panggung adalah dunia yang kejam, yang memaksa orang biasa menjadi seolah-olah luar biasa. Ia diajak potret bersama, dimintai tanda angan, ditepuki, dikerubut orang-orang. 

Cuma kedapatan ganti model rambut saja sudah bikin geger dan menjadi headline di sekujur koran. Akibatnya si orang biasa ini benar-benar merasa dirinya sebagai luar biasa. Ke mana-mana jubah keluarbiasaan itu menggelayutinya, memberatkan hidupnya dan panjang sekali daftar orang biasa yang rusak hidupnya karena keluarbiasaan yang dicangkok paksa.

Maka permintaan istri itu sungguh mengembalikan saya pada habitat yang sesungguhnya. "Mampirlah untuk membeli minyak dan beras!" katanya yang terus mendengung di telinga. 

Perintah itu kemudian saya jalani dengan semangat penuh. Ia mengembalikan lagi ke masa kanak-kanak saya ketika cuma sebathok (setempurung kelapa), rasanya hampir setara dengan serantai emas harganya. 

Kami adalah keluarga pemakan jenang kathul , dan nasi dari beras jatah yang keras dan jauh dari kata pulen. Apalagi makan lauk ayam hanya berlaku pada kesempatan-kesempatan ajaib saja. 

Dari sebuah mini market, saya mengambil minyak goreng dan sebungkus plastik beras itu, menimangnya, memandanginya berlama-lama. Minyak dan beras itu seperti mengulang kata-kata yang tak sempat diucapkan istri tapi saya menangkap jelas apa maksudnya: "Bahwa kamu sejatinya adalah manusia biasa saja!"

Wallahu A'lam

Posting Komentar untuk " MAMPIRLAH BELI MINYAK & BERAS"