MAKNA ITU TERGANTUNG PEMBERIAN KITA

 


Asis Muslimin, S.Psi. M.Psi. Psikolog

Saya ingin menceritakan sebuah pengalaman di keluarga saya. Barangkali pengalaman ini tidak bermutu, tetapi saya ingin menceritakannya. 

Ini tentang kelakuan saya selaku suami yang suatu kali sangat ingin makan dirumah. 

Saya ini adalah orang yang sampai saat ini sangat terpenjara oleh cita rasa masakan yang dibuat oleh ibu. Pada masa awal-awal perkawinan, saya ingin merasakan masakan istri seperti yang dimasak oleh ibu saya. 

Sebagian dari kita pasti pernah sangat lekat dengan masakan ibu dan oleh karenanya masakan itu pasti telah menjajah lidah dan selera kita terlalu lama sehingga kepada istri, kita juga menghendaki rasa yang pernah diciptakan atau digubah oleh ibu kita. Ini pengalaman yang saya alami.

Saya dikantor melapar-laparkan diri, karena anda bisa bayangkan bahwa syarat sebuah makan enak disamping lauknya yang cocok juga kelaparan yang meronta-ronta. Maka kelaparan itu harus saya bikin ada di puncaknya. 

Saya pulang, saya langsung menginterogasi istri dan hasilnya sesuai dengan angan-angan saya bahwa masakan itu sudah siap sempurna untuk disantap di meja makan. 

Maka dengan segenap ekspresi suami yang berterima kasih kepada istri tercinta, saya ciumi dia dengan gegap gempita sebelum saya menyantap masakan kesukaan saya ini. 

Awalan ini betul-betul nyaris menjadi momen makan dirumah yang sempurna jika tidak dirusak oleh kenyataan bahwa masakan ini ternyata lupa diberi garam. 

Betapa tegangnya pemasak pemula ini yang begitu ingin dia membahagiakan suaminya, tetapi akhirnya bencana inilah yang terjadi. Anda bisa bayangkan ditengah kelaparan yang mencekik, saya harus makan sayur yang saya bayangkan seenak masakan ibu saya, tetapi ini kenyataannya ia sama sekali tanpa garam. 

Saat itu rambut saya seketika nyaris berdiri kaku tersengat aliran listrik 10.000 watt oleh sebuah uap kemarahan. 

Jika anda pecinta masakan rumahan, kemudian anda adalah pihak yang terjajah oleh masakan ibu dalam kurun waktu yang lama, maka diawal-awal perkawinan anda, persoalan-persoalan semacam ini akan menjadi persoalan yang tidak sederhana. Tidak mudah mengadaptasikan lidah yg manja dengan kenyataan yang mengecewakan yakni

sayur tanpa garam. Ini membutuhkan upaya-upaya rekonsiliasi yang tidak mudah.

Nah, tapi untunglah pada saat itu saya berfikir praktis saja. Ini kalau saya bercerai hanya gegara soal garam rasanya kok tidak lucu. Mosok hanya karena persoalan garam saja harus menjatuhkan talak kepada istri. 

Maka saat itu saya membayangkan kelaparan di pengungsian perang dan bencana alam. Apapun masakan istri saya ini, jika saya makan di pengungsian sana, wah pasti enak sekali. Jika makanan ini saya makan tepat di pengungsian-pengungsian perang, banjir, gunung meletus maka soal garam ini pasti menjadi persoalan yang remeh temeh. 

Jadi makanan di depan saya ini bisa saya beri makna sesuai dengan kehendak saya. Ketika ia saya tatap dengan makna seorang pengungsi yang sedang kelaparan, semua masalah itu ternyata rampung dengan tiba-tiba. Dan satu lagi, jika persoalan seberat apapun kita tambahin kata cuma didepannya maka persoalan itu akan menyederhana. 

Sayur tanpa garam? Katakan saja," heleh cuma sayur tanpa garam aja? Tinggal kasih garam aja apa susahnya sih? Begitu saja kok repot !!!

Nah, pemberian makna ini ternyata tergantung pada keputusan kita.

Wallahu A'lam

Posting Komentar untuk "MAKNA ITU TERGANTUNG PEMBERIAN KITA"