KECANDUAN GAWAI, SALAH ANAK ATAU ORANG TUA?


Asis Muslimin, S.Psi. M.Psi. Psikolog

Berdasarkan catatan RSJ Cisarua, kira-kira  pada bulan Januari hingga Februari 2021 ada 14 anak alami kecanduan gawai yang menjalani rawat jalan. 

Sementara pada tahun 2020 rentang bulan Januari sampai Desember total ada 98 anak yang menjalani rawat jalan gegara kecanduan gawai. 

Bentuk yang paling menonjol dari adiksi gawai adalah luapan emosi yang tidak terkendali saat dilarang menggunakan gawai.

Perilaku yang muncul adalah menendang, melempar, memukul dan segala tindakan agresif akan dilakukan demi sebuah izin bolehnya menggunakan gawai. 

Jika anak-anak sudah terpapar kecanduan gawai barulah orang tua kalang kabut untuk mengatasinya. 

Biasanya rekomendasi untuk mengatasinya adalah detoksifikasi gawai. Inti dari detoksifikasi gawai adalah anak-anak diajak menghentikan teknologi sejenak termasuk gawai didalamnya dan kembali ke zaman sebelumnya. Bermain-main secara fisik seperti kuda-kudaan, bercanda sampai cubit-cubitan dan terjadi kontak fisik yang intens. 

Hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan ikatan emosional antara anak dengan orang tua. 

Tidak ada yang salah dalam teknik ini sepanjang para orang tua memahami masalah ini secara utuh dari hulu sampai hilir. Dan orang tua memahami mata rantai kenapa anak sampai kecanduan gawai. 

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah selalu orang tua menempatkan anak-anak sebagai tersangka utamanya. Anak-anak dipersalahkan karena perubahan perilaku dikarenakan kecanduan gawai. 

Anak menjadi impulsif, uring-uringan dan cenderung cuek terhadap perintah orang tua, apalagi terhadap nasehatnya. 

Sehingga tidak jarang orang tua melabeli anaknya sendiri sebagai anak nakal, tidak patuh dan pemarah. 

Karena kecenderungan terhadap ego-ego tertentu, orang tua lebih memutuskan menyelamatkan egonya dari pada merespon gangguan-gangguan domestik rumah tangga, seperti rengekan anak minta diajak bermain, anak memohon apresiasi orang tua atas gambarnya, minta diajari matematika dan selainnya. 

Bahkan demi kenyamanan me-time orang tua dari gangguan malaikat kecil itu sehingga mereka memutuskan mengambil jalan pintas dengan memberikan gawai, agar selamat suasana me-time nya. 

Sialnya, cara ini berhasil. Sang Malaikat kecilpun terhibur oleh gawai itu. Sementara me-time orang tua dilalui dengan tingkat kepuasan yang nyaris sempurna. 

Bisa juga dengan alasan-alasan kehormatan seperti demi sebuah loyalitas terhadap tempat kerja, maka pekerjaan kantor sampai di bawa pulang ke rumah, sementara pada waktu yang sama sang malaikat kecil mengiba di pojok ruang dengan tatapan mata kosong dengan mainan yang berserakan sambil tetap berharap ayah bundanya mau menyapa dan kemudian mengajaknya bermain. 

Ketika anak-anak merajuk menuntut haknya, maka solusi cerdasnya adalah dengan memberikan gawai untuk bermain game. Tentu anak menyukai itu karena bermain game itu mengasyikkan dan menantang. 

Anak diam, dan orang tua bisa konsen menyelesaijan tugas kantor demi sebuah loyalitas dan jenjang karir yang bagus. Bukankah semua yang dilakukan oleh orang tua demi anak? 

Dan bukankah cara ini merupakan “win win solution” yang cerdas? Mereka sulit melihat kedalam bahwa sesungguhnya mereka mempunyai andil cukup besar terhadap kecanduan gawai anak-anaknya. 

Bahkan terkadang mereka menjadi kontributor utama. 

Celakanya seluruh kesalahan yang bersemayam di dalam dirinya sulit terakses oleh pikiran sadar apalagi mata telanjang. Pada titik inilah, secara sadar atau tidak sadar orang tua memberi asupan semacam narkoba virtual yang berakibat adiksi. Heroin virtual itu ada. Ini warning berat untuk orang tua. 

Seith Godin, pakar digital marketing dunia memutuskan melakukan pertaubatan nasuha dari smart phone menjadi phone, just a communicater instrument. not entertain equipment. 

Gordin adalah pakar digital marketing yang sudah pernah basah kuyub dengan kecanggihan teknologi tersebut, tetapi justru ia pada titik tertentu merasakan ada sebuah ancaman yang serius yang berpotensi menjadi bencana baru. Dia potong itu semua dan kembali ke equipment yang sangat kuno, just communication. 

Godin menyampaikan lima tips di tingkat orang tua untuk mencegah kecanduan gawai:

1. Manajemen waktu. 

Jadi untuk bersentuhan dengan gawai harus definitif waktunya. Harus jelas pada jam berapa? Durasinya? Misal untuk orang tua kapan? dan anak kapan? Anak usia tiga sampai dengan lima tahun dengan durasi 1 jam sehari, setelah itu cukup. Enough from gadget. 

Sementara orang tua mungkin disaat anak-anak tidur. Tentu tidak membatasi bagi orang tua jika ada urusan yang urgent. Para orang tua pasti tahu waktu yang tepat dan waktu yang salah dalam menggunakan gawai.

2. Manajemen tempat. 

Jadi jangan membawa gawai itu kemanapun orang tua bergerak. Karena ketergantungan kepada gawai bermula dari kelekatan dengan gawai. Memang dengan selalu membawa bisa memudahkan urusan manusia, tetapi tidak selalu urusan manusia bisa terselesaikan dengan gawai. 

3. Manajemen hubungan. 

Jadi orang tua harus menyelenggarakan sebuah kegiatan untuk menguatkan hubungan emosional antara orang tua dan anak. Seperti contoh diatas dengan melakukan permainan yang kontak secara fisik dan emosional seperti kuda-kudaan, bercanda, bermain yang lainnya. 

4. Manajemen diri. 

Memberi keteladanan kepada anak bagaimana bersikap kepada gawai. Jangan kemudian menjadi orang tua melarang anaknya main gawai sementara dia sendiri hari-harinya disibukkan dengan gawai. Dan akhirnya si anak melihat orang tuanya menjadi pribadi yang aneh dan tidak konsisten dengan perkataannya

Detoksifikasi gawai akan menjadi langkah yang sok banget kalau pada akhirnya menempatkan anak sebagai tersangka. 

Mungkin justru kita yang mendorong  mereka menjadi tersangka. 

Coba kita mempunyai empat menejemen tersebut di tingkat orang tua, besar kemungkinan anak itu tidak perlu menjadi hancur hancuran begitu. 

Sekarang ini orang tua tidak perlu bahagia melihat anaknya bahagia karena orang tua sekarang sibuk membahagiakan diri sendiri dengan gawainya. Mereka lupa bahwa dia memiliki sumber kebahagiaan yaitu anak-anaknya. 

Sumber kebahagiaan didepan mata diacuhkan, sementara mereka justru mencari kebahagiaan lain yang mencelakakan. Yuk kita lebih dekat dengan malaikat kecil kita.

Wallahu A'lam

Posting Komentar untuk " KECANDUAN GAWAI, SALAH ANAK ATAU ORANG TUA?"